Sabtu, 09 Agustus 2008

“War on Drugs” dan Politik Tersembunyi Amerika Serikat

23.6.08
“War on Drugs” dan Politik Tersembunyi Amerika Serikat

Wilson

“WAR on Drugs,” tiba-tiba saja menjadi wacana "perang global" dari berbagai pemerintahan pasca hancurnya Perang Dingin, diakhir tahun 1980-an. Wacana ini pertama kali muncul pada tahun 1982, ketika pemerintahan Ronald Wilson Reagan, mendesak Kongres untuk mendukung pemerintah menjalankan program “war on drugs”. Dalam retorik Reagan dikatakan, tujuan dari program ini adalah "to cripple the power of the mob in America.”

Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintahan Reagan justru bekerjasama dengan mafia narkotik dalam membiayai gerilyawan Contra, untuk memerangi pemerintahan sayap kiri Sandinista, pimpinan Daniel Ortega di Nikaragua. Dalam waktu bersamaan pula, pemerintah Amerika Serikat (AS), mendukung "berbagai kelompok militer sayap kanan" di Amerika Latin, yang mempunyai kaitan dengan organisasi narkotik dan membentuk blok politik narko-militeris yang represif.

Di era Reaganlah, banjir narkotika masuk ke AS dengan difasilitasi dan dibekingi CIA dan Pentagon, serta organisasi rahasia yang dipimpin kolonel Oliver North. Selama hampir satu dekade, CIA dan Pentagon mendukung dan melindungi perdagangan narkotika terbesar di dunia, yang menyuplai hampir 50 persen kokain yang dikonsumsi di AS.

"War on Drugs" kembali muncul diakhir pemerintahan Reagan, di tahun 1988, ketika musuh perang dingin Amerika Serikat yang bernama blok komunisme, dianggap telah ambruk dan transisi demokrasi mulai menggerogoti rejim-rejim korup-otoriterian sayap kanan, yang menjadi sekutu tradisionil AS, di berbagai belahan dunia seperti Korea Selatan, Filipina, dan terutama di Amerika Latin dan Tengah.

Hancurnya komunisme menyebabkan pemerintah AS kehilangan legitimasi untuk terus menjadi “polisi dunia.” Sebabnya, ancaman atas AS dan sekutu-sekutunya dari rejim komunis dianggap tak lagi relevan. Karena itu, sebuah "monster baru" harus diciptakan, sebagai legitimasi intervensi global AS dalam urusan rumah tangga negeri lain, dan memberikan bantuan politik kepada sekutu-sekutu ideologisnya. Monster baru paska perang dingin itu lalu diciptakan di akhir tahun 1980-an dan awal pemerintahan George Bush senior ditahun 1990-an, dalam wacana “war on drugs.” Perang ini berhasil mendapatkan dukungan kenaikan anggaran hampir sepuluh kali lipat, dari $1.2 milyar pada tahun 1981 menjadi $11.7 milyar dalam tahun 1992.

Kata “perang” digunakan juga mempunyai arti politik. Sebab “perang” berarti melibatkan militer sebagai garda depan. Karena itu operasi militer, bantuan militer, pelatihan militer dan kegiatan inteljen menjadi “program utama” dari strategi ini. Tak heran jika program “war on drugs” lebih kelihatan sebagai suatu proyek “militerisasi” dengan tujuan politik dan ideologis, ketimbang upaya untuk memeranginya.

Setelah tragedi 11 September 2001, AS secara sistematis menarik bandul politik dunia ke dalam “perang melawan terorisme” sebagai suatu “perang global.” Pemerintah AS kemudian lalu menciptakan “definisi terorisme” menurut kebutuhan politik dan ideologinya. Akhirnya, kebijakan perang melawan terorisme yang dikibarkan AS, justru menjadi tidak berbeda dengan terorisme yang hendak mereka hancurkan sendiri. Nasib yang sama juga terjadi dalam “war on drugs.” Meminjam ungkapan Uskup Dom Herder Camara, “obat yang ditawarkan lebih beracun dari penyakit yang hendak disembuhkan.” Dalam kenyataan yang tak jauh berbeda, AS juga telah ”merekayasa musuh global” menurut kepentingan politik dan ideologinya, dalam kasus perang menghadapi komunisme dan “perang melawan narkotika.”

Ketika “war on drugs” menjadi strategi bagi intervensi AS untuk menjadi polisi dunia pasca Perang Dingin, mendadak terjadi peristiwa 11 September 2001. Tiba-tiba saja perang atas narkotika diintegrasikan dengan perang melawan terorisme, sehingga lahirlah wacana narko-terorisme. Wacana ini berarti terjadi saling kait antara terorisme dengan perdagangan narkotik, karena itu perlu satu kesatuan program untuk memeranginya.

Istilah narko-terorisme pertama kali digunakan kepada kelompok mafia perdagangn narkotika di Kolumbia dan Peru, yang menggunakan cara-cara teroris untuk memberikan tekanan politik kepada pemerintah seperti pemboman, pembunuhan politik, dan penculikan. Di kedua negara tersebut, kerjasama bilateral militer AS dengan unit militer anti narkotika sudah terjalin lama. Namun, kemudian DEA “memperluas” definisi narko-terorisme sekaret mungkin yakni sebagai keterlibatan kelompok atau individu dalam hal pemajakan, penyediaan keamanan atau membantu perdagangan narkotika dalam rangka menyebarluaskan atau mendanai kegiatan terorisme.

Definisi ini sangat karet dan dalam prakteknya disalahgunakan secara luas oleh rejim-rejim ororiter, untuk menghadapi oposisi dan perlawanan rakyat. Di Kolumbia, misalnya, unit anti narkotik binaan AS lebih banyak memerangi gerilyawan FARC dan oposisi, ketimbang menangkapi para bandar narkotik. Hal yang sama terjadi di Peru, dimana unit anti narkotika binaan AS lebih banyak digunakan sebagai alat politik melawan gerilyawan Maoist Shining Path. Akibatnya, pelanggaran HAM atas rakyat sipil menjadi sistematis dan meluas dengan pembenaran ‘war on drugs”.

“Politik Narkotik” Amerika Serikat

Sejarah keterlibatan pemerintah AS, dengan isu narkotika sangat terkait dengan kepentingan ideologi dan politik global AS itu sendiri. “Politik narkotik” AS ini dapat ditelusuri pada Perang Dunia II. Demikian juga keterlibatan pemerintah AS secara politik dalam bekerjasama dengan pengedar narkotika, dapat ditelusuri pada strategi AS dalam Perang Dunia ke II.

Ketika itu The Office of Strategic Services (OSS), yang kemudian menjadi CIA, membangun hubungan dengan para pimpinan mafia dunia hitam Italia di New York dan Chicago, seperti Charles 'Lucky' Luciano, Meyer Lansky, Joe Adonis, dan Frank Costello. Mereka ini, para pimpinan mafia, membangun jaringan di AS ketika Italia di bawah diktator fasis Benito Mussolini. Tugas mereka adalah melakukan sabotase atas pelabuhan di pantai Timur dan mengawasi sekutu-sekutu pemerintahan fasis. Namun, kemudian peran mereka juga diperluas untuk mengawasi dan menghancurkan serikat buruh dan kaum kiri di Italia, yang saat itu menjadi garda terdepan melawan fasisme dan mempunyai pengaruh luas di serikat buruh.

Luciano, pemimpin mafia Italia di New York, sempat ditahan karena kejahatan teroganisirnya di Amerika, namun kemudian di bebaskan karena bantuannya selama PD II, bahkan diperbolehkan kembali ke Italia. Dari negeri pizza itu, ia membangun imperium heroin yang didatangkan dari Turki dan Lebanon, untuk kemudian diproses dalam laboratorium di Sisilia.

Setelah PD II berakhir, kerjasama dengan mafia Italia dilanjutkan. Pada tahun 1947, di tahun awal pendiriannya, CIA melanjutkan jaringan komunitas inteleljen dengan mafia untuk memerangi komunisme, ketika dunia memasuki awal perang dingin. CIA dan mafia Korsika juga menjalankan operasi untuk memerangi serikat buruh kiri, yang menguasai pelabuhan di Marseille. Setelah menghancurkan kekuatan serikat buruh kiri, mafia Italia praktis menguasai pelabuhan. Selama 25 tahun kemudian kontrol mafia atas pelabuahan di Marseille, menjadi sarana untuk mengirim heroin ke Amerika Serikat.

CIA juga mulai membangun kontak dengan mafia di Jepang, Yakuza, untuk mengawasi dan menjamin Jepang tetap menjadi negara non-komunis. Sebagai imbalannya, Yakuza tumbuh menjadi penyalur methamphetamine paling terkemuka di Hawaii

Amerika Serikat juga terlibat dalam produksi dan perdagangan opium di kawasan Gold Crescent (bulan sabit emas) di Iran, Afganistan dan Pakistan dan Golden Triangle (Segitiga Emas) di Burma,Thailand dan Laos. Di kedua kawasan tersebut, CIA bekerjasama dengan produsen opium dalam kerangka Perang Dingin, yaitu membendung ekspansi komunis dari Uni Soviet dan RRC.

Ketika tentara pembebasan rakyat pimpinan Mao Tse Tung menguasai RRC pada tahun 1949, pasukan Kuomintang (KMT) di bawah pimpinan jenderal Lu Han dipukul mundur hingga keluar RRC, dan menetap di perbatasan Burma. Pada tahun 1950, ribuan tentara KMT yang ada di Laos ikut bergabung di perbatasan Burma, untuk membangun basis perlawanan menghadapi pemerintahah komunis RRC.

Dalam situasi ini, Amerika Serikat memasuki pertempuran dengan memberikan dukungan pada KMT. Dukungan ini menurut pemerintahan Truman, dimaksudkan untuk “to block further Communist expansion in Asia." Pada April 1950 Joint Chief of Staff (JCS) menyarankan kepada Menteri Pertahanan, untuk menjalankan "a program of special covert operations designed to interfere with Communist activities in Southeast Asia..."

Pada tahun 1952-53, di kawasan segitiga emas, kerjasama CIA dengan tentara (KMT) untuk membendung ekspansi RRC, dimulai. Di Laos antara tahun 1960-1975, CIA mengontrol trasnportasi udara heroin dari Laos. Dana dari heroin ini kemudian digunakan untuk perang melawan Vietnam Utara, yang dipimpin oleh pejuang legendaris Ho Chi Minh, yang saat itu tengah erjuang melawan kolonialisme Prancis dan pemecahan Vietnam Selatan oleh AS. Heroin juga disuplai untuk para tentara Amerika di Vietnam.

Masih dari kawasan Bulan Sabit Emas, pada tahun 1979 tentara Uni Soviet melakukan invasi ke Afganistan dan mendirikan rejim komunis boneka. CIA kemudian membantu para pemberontak bersenjata diperbatasan untuk melawan rejim komunis Afganistan yang didukung Soviet. Untuk operasi tersebut, CIA bekerjasama dan mendapat dukungan dana dari perdagangan opium dan kelompok Taliban, yang berkolaborasi dengan Osama bin Laden. Dari aliansi strategis ini, mereka berhasil mengusir tentara Soviet dan kemudian menggulingkan rejim boneka bikinan Moskow. Dari sinilah asal-usul kemunculan rejim Taliban yang reaksioner, anti Barat, dan pada akhirnya digulingkan kembali melalui invasi militer oleh pemerintah AS pasca traged1 11 September 2001.

Selain kepentingan ideologis, kerjasama dengan jaringan pedagang narkotik dan Osama bin Laden, juga ditujukan untuk menjaga kepentingan pipa gas dan minyak perusaan minyak AS, UNOCAL.

‘War on Drugs’ Pasca Perang Dingin

Pada akhir tahun 1980-an, Perang Dingin berakhir dengan simbol dirubuhkannya tembok Berlin di Jerman secara dramatis. Pada tahun inilah Presiden AS, Ronald Reagan (1980-1988), mulai menformulasikan kebijakan anti narkotik dan mulai menggunakan kata ‘perang’ dan keamanan nasional.

Penciptaaan “musuh baru” sebagai “ancaman keamanan” bagi Amerika, adalah strategi klasik AS untuk tetap mempertahankan hegemoni politiknya pasca Perang Dingin. Hancurnya Uni Soviet, jelas kemenangan bagi kubu kapitalis, dan untuk itu harus diciptakan “monster baru” guna tetap menjaga tugas patriotik pemerintah AS dalam menyelamatkan dunia. Seperti dikatan oleh Bush senior, “Drugs are sapping our strength as a nation...here is not match for a United America, a determined America and angry America. Our outrage against drugs unites us all.“

Dengan Perang melawan narkotika yang didefinisikan sebagai “ancaman keamanan” maka intervensi AS dipandang sebagai “self defence,” daripada melakukan intervensi atas urusan dalam negeri negara lain. Beriringan dengannya, bantuan pelatihan dan dana segera mengalir kepada rejiim-rejim korup dan kekuatan sayap kanan, yang mempunyai keterpautan dengan perdagangan narkotik itu sendiri. Perang melawan narkotik, juga menjadi pembenaran bagi intervensi AS, dimana rejim-rejim otoriterian (militer) yang menjadi pelindung kapitalisme AS di Amerikat Latin sedang mendapatkan ancaman. Jadi, bukan kebetulan bila pernyataan perang melawan narkotika ini berbarengan dengan proses transisi demokrasi di Amerika Latin, dimana banyak kekuatan sayap kanan mulai khawatir dengan hegemoni politik mereka.

Kecenderungan globalisasi ekonomi dan integrasi ekonomi regional (the North American Free Trade Agreement, Mercosur, the Central American Integration System, the Andean Pact, dan the Caribbean Community), telah mengakselerasi proses transnasionalisasi dari struktur yang mengkoordinasikan “perang melawan narkotika.” Bagi militer, misi penyerangan melawan narkotika adalah mesin yang penting untuk melakukan kolaborasi lintas negara, tentu saja semuanya di bawah komando AS. Kolaborasi militer ini, terutama di Amerika Latin, membawa implikasi-implikasi politik yang lebih luas, sebab perang melawan narkotik itu, juga menjadi alat konsolidasi dari kekuatan “state-terorism” untuk melakukan “perang kotor” melawan musuh-musuh ideologi Amerika di Amerika Selatan dan Tengah.

Akibatnya, perang melawan narkotika, lebih dilihat sebagai “pintu masuk” bagi politik intervensi Amerika, untuk menjaga “posisi politik” sekutu-sekutu militernya agar dapat disetir menurut kepentingan politik dan ekonomi AS. Kasus Noriega di Panama, dukungan pada gerilyawan Contra di Nicaragua, adalah contoh dimana perang melawan narkotika, hanyalah “topeng politik” untuk melegitimasi politik washington atas negara-negara di kawasan itu. Seperti dikatakan Peter Dale Scott, “Today the United States, in the name of fighting drugs, has entered into alliances with the police, armed forces, and intelligence agencies of Colombia and Peru, forces conspicuous by their own alliances with drug-traffickers in counterinsurgency operations.” “The agency (CIA) gave them money under counternarcotics and they used their money to do other things in the political arena."

Di masa Bush senior, menteri pertahanan William Perry, dalam pertemuan para menteri pertahanan di Bariloche, Argentina, pada Oktober 1966, menyatakan, perdagangan narkotika adalah fenomena internasional, dan tidak mengenal batasan, yang mengakibatkan pemerintahan nasional tidak menguntungkan untuk melawannya sendirian. Pada tahun 1997, diadakan pertemuan ketiga menteri pertahanan yang diadakan di Cartagena, Kolumbia, sebuah negeri yang sangat mendukung strategi global AS, dalam perang melawan narkotika. Dalam pertemuan ini secara bertahap konsep keamanan nasional mulai digantikan dengan konsep keamanan secara kontinental, yang lagi-lagi dipimpin oleh AS.

Pada tahun 1992, dalam San Antonio Americas Summit, Presiden Bush kembali mengajukan proposal sebuah kekuatan militer multilateral, untuk memerangi perdagangan narkotika di Amerika Latin. Dalam pertemuan di Bariloche, gagasan Bush ini diangkat kembali. Kali ini gagasan ini diangkat oleh mentri pertahanan Kolumbia Juan Carlos Ezguerra Portocarrero. Dua proposal sekretaris pertahanan AS William Perry dibicarakan di Bariloche. Pertama, membuat pusat pelatihan militer regional di Amerika Serikat, untuk menghadapi perdagangan narkotika; kedua, menghubungkan jaringan intelijen militer dalam perdaganan narkotika melalui Pentagon. Proposal Amerika ini ditolak oleh Argentina, Brazil, Mexico dan Uruguay yang tidak sepakat untuk melanjutkan kerjasama militer dalam isu narkotika dan menolak gagasan kekuatan multilateral menghadapi narkotik. Menurut sekretariat kementrian luar negeri Brazilia “it violates the principles of self-determination.”

Tapi, bukan Amerika Serikat namanya bila tidak maju terus memaksakan gagasannya. Kerjasama militer “war on drugs” tetap dijalankan, caranya dengan membangun kerjasama bilateral dengan kekuatan “sayap kanan” baik sipil maupun militer di berbagai negeri di Amerika Latin. Kerjasama bilateral tersebut meliputi program asistensi untuk melibatkan militer lebih jauh dalam perang melawan narkotika. Untuk menarik kerjasama bilateral, pemerintah AS pada paruh kedua tahun 1996, meningkatkan dana untuk perang melawan narkotika, bantuan perlengkapan militer, menghentikan pelarangan penjualan senjata kepada militer seperti dalam kasus Peru, menyediakan akses bagi militer Argentina untuk berbagai perlengkapan persenjataan seperti aircraft dan misil, dan memberikan beberapa helikopter kepada militer Kolumbia dan Mexico untuk memerangai narkotika.

Semua kerjasama bilateral ini, telah mengkosolidasikan kekuatan “militer” di Amerika Latin, yang sejak lama menjadi sekutu setia amerika serikat. Akibatnya, terjadi proses “militerisasi” dalam proyek-proyek “war on drugs’ di Amerika Latin.

Di Mexico, Kelompok Kerja Pertahanan AS dan Mexico selama setahun seluruh posisi penting lembaga ini jatuh ketangan militer (atau pensiunan jendeeral). Demikian juga dengan lembaga-lembaga lainnya yang dibantu pemerintah AS: The National Institute for the Fight Against Drugs; Federal Judicial Police dan Center for Drug Control Planning. Sementara unit-unit militer digunakan untuk memerangi perdagangan narkotika.

Di Panama, Sekretaris Kementrian Panama mengajukan proposal pembangunan pangkalan militer bersama dengan militer AS, dengan alasan untuk menghadang perdagangan narkotika. Namun, tujuan sebenarnya dari pendirian pangkalan ini adalah untuk melanjutkan keberadaan tentara AS di terusan Panama, yang akan berakhir pada 31 Desember 1999. Jenderal Barry McCaffrey, salah seorang pensiunan jenderal yang terlibat dalam upaya ini, yang juga mantan pimpinan head of the US Southern Command (SOUTHCOM) di Panama, merekomendasikan pengiriman 5000 anggota pasukan ke sana. Brazil juga terlibat dalam operasi perang melawan narkotika yang dipimpin AS ini. Di Argentina, pemerintahan presiden Carlos Menem dan AS menyepakati perjanjinan kerjasama militer di antara kedua negara.

Dewan Keamanan Nasional AS, juga mengajukan proposal untuk pembentukan Latin American Air Force, untuk memerangi perdaganan narkotika. Untuk itu Pentagon akan mengirim 70 pesawat ke Kolumbia, Mexico, Venezuela, Peru, dan Ekuador. Untuk keperluan proyek ini, Pentagon juga akan mengucurkan dana sebesar $400 juta, jumlah dana terbesar dalam sejarah transfer pesawat di Amerika Latin. Semua kerjasama bantuan dan operasi militer telah meningkatkan anggaran perang melawan narkotika di pemerintahan Clinton, hampir tiga kali lipat yang ditujukan untuk militer dan polisi di Amerika Latin.

Militerisasi dan Politik Sayap Kanan

Selama Perang Dingin, kebijakan AS terhadap Amerika Latin adalah mendukung pemerintahan otoriterian yang dikusai militer. Militer menjadi sekutu paling dipercaya dalam menghadapi bahaya komunisme dan perlawanan rakyat. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan tuntutan tanggung jawab pelanggaran HAM atas para jenderal selama berkuasa di Amerika Latin, pemerintah AS tetap harus menjaga dan merawat hubungannya dengan para jenderal atau militer di kawasan itu melalui isu perdagangan narkotika. “They remain driven by the belief that the best way to achieve their goals is to strengthen military-to-military ties.“ Program pelatihan militer terus dilanjutkan sebagai upaya untuk mengikat militer Amerika Latin untuk kepentingan Washington.

Sejarah kerjasama AS dengan militer di Amerika Latin, telah berumur panjang. Banyak dari jenderal yang berkuasa di Amerika Latin, adalah anak didik militer AS dalam program pelatihan bagi para perwira militer, yang dikenal dengan nama U.S. Army's School of the Americas (SOA). SOA didirikan pada tahun 1946 di Pangkalan Komando AS di Panama dan kemudian dipindahkan ke Ft. Benning. Selama 50 tahun beroperasi, sekolah militer ini menghasilkan 58.000 lulusan dari seluruh negeri di Amerika Latin, Amerika Tengah, dan Karibia. Untuk membiayai sekolah bagi sekutu-sekutu militer AS ini, dihabiskan biaya sekitar 18 juta dolar.

Sekolah ini melahirkan banyak sekali para diktator dan jendral yang terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berat di Amerika Latin dan Amerika Tengah, sehingg sering dijuluki sebagai “Sekolah Para Pembunuh (School of Assassins) dan “Sekolah Bagi Para Diktator (School for Dictators).

Memang, sejak tahun 1960-an banyak sekali lulusan SOA yang menjadi kepala negara di 6 negara yang berbeda dan menerapkan kekuasan otoriter, militeris, dan anti demokrasi. Termasuk di sini adalah jenderal Manuel Noriega di Panama, Jendral Roberto Viola di Argentina, dan Brigadir Jenderal Juan Melgar Castro di Honduras. Pada tahun 1993, menurut Komisi Kebenaran PBB, sekitar 69 orang perwira alumni sekolah ini masuk dalam daftar para pelanggar HAM berat selama perang sipil, pembentukan pasukan pembunuh, penculikan dan pembunuhan atas warga sipil di di El Salvador, Honduras dan Peru.

Dengan berakhirnya perang dingin, proses demokrasi di Amerika Latin semakin memojokan sekutu tradisionil AS ini. Namun, pemerintah AS tetap mencari akal agar kerjasama militer dengan kolega-kolega militer di sana dapat terus dilanjutkan. Seperti dikatakan angota Kongres dari partai Republik, Bob Barr (R-GA) pada September 1997, dalam upaya mendukung pemerintah AS untuk terus membiayai SOA "The cold war may be over, but the war against narcotics traffickers is not." Pemerintahan Clinton mengambil posisi yang sama ketika menolak usulan penutupan SOA, karena pelanggaran HAM yang dilakukan para alumnusnya dengan menganggap tetap dibutuhkan untuk perang melawan narkotika.

Tidak peduli dengan kritikan menyangkut HAM, pemerintah AS tetap memberikan pelatihan khusus dengan “kedok” perang melawan narkotik kepada sekutu-sekutu militernya dari Amerika Latin, Tengah dan Karibia. Dibuatlah pelatihan militer melawan narkotik di Army's Jungle Operations Training Center di Fort Clayton dan di Naval Small Craft Instruction and Technical Training School di Rodman Naval Station (keduanya berbasis di Panama). Namun, program pelatihan ini, ironisnya justru juga diikuti oleh para perwira militer yang dikenal luas sebagai bagian dari jaringan narkotik itu sendiri. Misalnya saja di Peru, Guatemala, Kolumbia, Mexico, dan bebeerapa tempat lainnya, banyak para perwira militer yang direkrut dan dilatih untuk perang melawan narkotika justru mempunyai hubungan dekat dengan jaringan narkotika di Amerika Latin.

Selain itu, para perwira yang dilatih untuk perang melawan narkotika, dalam banyak kasus, bukannya menggunakan unit-unit militer untuk menyerang organisasi narkotika tapi, justru lebih sering digunakan untuk menyerang “rakyat sipil,” oposisi dan aktivis. Sehingga didapat fakta bahwa pelatihan yang diberikan justru digunakan untuk melakukan pelanggaran HAM berat secara sistematis. Pada tahun 1973, misalnya, Kongres AS, menemukan bahwa pelatihan tersebut digunakan oleh militer dan polisi untuk melakukan pelanggran HAM berat di Uruguay, Argentina dan berbagai tempat lainnya di Amerika Latin. Kongres akhirnya melarang bantuan dana dari State Department's Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL), kepada unit-unit militer yang terbukti kuat bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat. Salah satu sekutu Amerika, yang diduga harus bertangungjawab atas pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 warga sipil di Guatemala, adalah jenderal Julio Roberto Alpirez, jebolan dari the US Army's School of the Americas (SOA).

Para perwira militer binaan AS yang terlibat dalam perdagangan narkotika, juga terlibat dalam upaya politik untuk membunuh dan merebut kekuasaan politik dari para pimpinan negara atau poloitisi yang tidak ramah dengan politik luar negeri AS. Pada tahun 1986, Jenderal Jose Bueso Rosa, terlibat dalam upaya pembunuhan Presiden Honduras Roberto Suazo Cordova. Upaya pembunuhan ini diduga terkait dengan sikap sang presiden yang tidak koperatif untuk mendukung pemerintah AS dalam upaya mendukung gerilyawan Contra di Nikaragua. Bueso juga terlibat dalam penyelundupuan 345 kg heroin senilai 40 juta dolar AS. Namun karena jasanya mendukung gerilyawan Contra yang didukung AS, pemerintahan Reagan memberi tekanan agar sang jendral diberi hukuman ringan yaitu 5 tahun penjara di Florida, AS.

Pada tahun 1980, aliansi antara CIA, perwira militer dan mafia narkotika, berkoloborasi untuk melakukan apa yang disebut dengan peristiwa “kudeta kokain” atas pemerintah Bolivia yang berkuasa. Tujuan kudeta ini untuk menggusur pemerintahan yang sah karena menurut anggapan AS, memiliki kecenderungan sosialis. Mafia narkotik mendukung kudeta tersebut, karena pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan anti narkotik yang keras, sementra pemerintah Amerika dan sekutu militernya ingin memberikan tekanan kepada gerakan sosialis di Amerika latin.

Di Nikaragua, pemerintahan Ragan sangat terobsesi untuk menghancurkan pemerintahan sosialis Daniel Ortega, dengan menghalalkan segala cara. Untuk itu pemerintahan Reagan dapat mentoleransi dan melindungi para pedagang narkotika, sejauh para pedagang tersebut memberikan dukungan pada gerilyawan sayap kanan Contra yang didukungnya. CIA bekerjasama dengan dua orang pedagang narkotik Rafael Caro Quintero dan Miguel Angel felix Gallardo, yang dikenal sebagai penyuplai narkotik sebanyak hampir 4 ton per bulan ke AS. Para mafia lainnya yang juga terlibat hubungan dengan CIA dalam upaya mendukung Contra adalah Manuel Noriega (Panama), John Hull (Costa Rica), Felix Rodriguez (El Salvador), Juan Ramon Matta Ballesteros (Honduras) serta dengan dukungan dari sekutu militaemala dan Honduras. Kerjasama dengan para mafia narkotik ini juga menghasilkan uang untuk mendukung gerilyawan Contra.

Di Kolumbia, baru-baru ini, unit militer yang didukung oleh militer AS memburu pimpinan gerilyawan kiri FARC, hingga masuk kewilayah Honduras dan Venezuela. Ketegangan diplomatik sempat terjadi dengan Honduras dan Venezuela akibat insiden perbatasan tersebut. Pemerintah Kolumbia adalah contoh pemerintahan yang secara setia menjadi kaki tangan AS, untuk menjalankan strategi “politik dan perang melawan narkotik.” Pada kenyataaanya, bantuan militer dari AS lebih banyak digunakan secara sistematis untuk melakukan perang sipil melawan oposisi kiri, aktivis gerakan rakyat dan gerilyawan kiri FARC. Militer dan paramiliter memasuki desa-desa dan melakukan berbagai pelanggaran HAM berat atas rakyat sipil dengan tuduhan mendukung gerilyawan FARC.

Di Haiti, CIA mendukung militer untuk melakukan oposisi atas presiden populis jean Bertrand Aristide, yang menolak jalan kapitalisme ala Bank Dunia dan IMF dan membersihkan pemerintahan dari pengaruh perdagangan narkotik. Militer Haiti, yang menjadi sekutu AS, terkenal karena keterlibatan mereka dengan perdagangan narkotik. Akhirnya kepentingan politik Amerika dan para jendral bertemu dalam gerakan untuk menggulingkan presiden Aristide.

Pencucian Uang

Pada tahun 1994, The UN Commission on Narcotic Drugs, memperkirakan transaksi penjualan narkotik di seluruh dunia berkisar antara $400 milyar hingga $500 milyar setahun. Jumlah ini senilai dengan 10 hingga 13 persen dari total perdagangan di seluruh dunia selama setahun. Perdagangan narkotik menghasilkan transaksi dagang yang lebih besar daripada perdagangan internasional minyak dan mineral yang menyumbang sekitar 9.5 persen perdagangan internasional. Lebih besar dari perdagangan bahan kimia yang mencapai 9.5 persen. Lebih banyak daripada perdagangan internasional bahan makanan, binatang hidup, dan tembakau yang mencapai sektiar 9 persen dari perdagangan dunia.

Jumlah dana yang bermain dalam bisnis narkotika, dua kali lipat dari dana global perusahaan farmasi (US$215 milyar di tahun 1993) dan 7 hingga 8 kali lebih banyak dari dana asistensi pembangunan global yang mencapai 66.6 milyar dollar pada tahun 1993.

Di AS, memang tidak terdapat data yang resmi tentang jumlah uang yang terkumpul dari hasil perdagangan illegal narkotik.Tapi, sebagai gambaran, pada tahun 1981 pemerintah AS menduga uang yang dihasilkan dari perdagangan narkotik sekitar $3 trilyun. Jumlah ini lebih banyak dari perdagangan internasional semua komoditi yang hanya mencapai $1 trilyun. Dengan data ini, dapat diduga bahwa uang dari narkotika memainkan peran penting dalam politik dan ekonomi Amerika, meskipun angkanya tidak tercatat dalam statistik ekonomi yang resmi.

Perdagangan narkotika jelas menghasilkan uang dalam jumlah besar. Industri bank tampaknya mendapatkan keuntungan besar dari bisnis narkotika, dengan menyediakan diri sebagai tempat penyimpanan dan pencucian uang. CIA sendiri dianggap mengambil peranan dalam proses pencucian uang tersebut. Biasanya, pihak bank akan mencurigai transaksi uang dalam jumlah besar apalagi dalam bentuk tunai. Tapi bila bekerjasama dengan CIA, semua kecurigaaan ini bisa dilewati atas nama “keamanan nasional.”

Wartawati Veronica Guerin, yang dibunuh karena investigasinya dalam soal pencucian uang mengatakan, sebetulnya bila ingin menangkap para bandar narkotika, polisi cukup mengikuti aliran transaksi uang: “follow the money and they would and find the crook.” Tapi pada kenyatannya, para pelaku dilindungi oleh bank itu sendiri.

Bank bekerjsama dengan para mafia narkotik karena mendapatkan persentase keuntungan yang besar dalam waktu cepat, bila perlu dengan mengakali dan melanggar aturan yang ada. Citibank, misalnya, di investigasi oleh Kongres karena menyimpan uang senilai 80 hingga 100 juta dolar milik Raul Salinas de Gortari, adik dari mantan presiden Mexico Carlos Salinas.

Salah satu bank yang juga dikenal sebagai tempat pencucian uang adalah The Bank of Credit and Commerce International (BCCI), yang dekat dengan lingkaran politik Margaret Thatcher, sekutu dekat Presiden AS, Ronald Reagan. Bank ini mempunyai 3000 langganan yang terkait dengan kajahatan seperti perdagangan senjata dan perdaganan narkotik. Noriega mempunyai sembilan rekening di bank ini dengan deposit berjumlah 17.3 juta poundsterling antara tahun 1980-1988. Oliver North, sekertaris pertahanan di jaman Reagan, mempunyai tiga rekening.

Uniknya Bank of England, tidak menemukan hal yang mencurigakan dari bank ini. Bahkan Margareth Thatcher pernah diusulkan oleh pendukung dekatnya untuk menjadi presiden dari Bank ini. Pada tahun 1991, ketika BCCI mengalami kebangkrutan, Thatcher berupaya membelanya dengan mengatakan bahwa BCCI mengalami perlakuan yang tidak adil dari Bank of England. Laporan dari Police Foundation dan University of Wales, memperkirakan uang yang dicuci dari hasil penjualan narkotik di Inggris tiap tahun bernilai 2.5 miliar poundsterling.

Penutup

Strategi “war on drugs” yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat, sangat jelas telah menimbulkan berbagai kerusakan berantai dan terbukti gagal untuk menghentikan perdagangan narkotika itu sendiri. Saratnya kepentingan ideologi dan politik AS dalam strategi perang melawan narkotika, membuat perang ini justru keluar dari relnya, terseret oleh kepentingan politik global AS

Kita tahu pemberantasasn perdagangan narkotik di Indonesia, juga mendapatkan dukungan luas dari pemeritnah Amerika Serikat. Karena itu perlu kehati-hatian agar, perang melawan narkotik di Indonesia tidak mencopypaste cara Amerika atau tidak menjadi bagain dari strategi “politik global“ mereka.

Strategi perang melawan narkotik ala cowbow Amerika, juga telah melupakan satu faktor penting yaitu para korban narkotika itu sendiri. Di Amerika, para korban secara umum diperlakukan sebagai kriminal, tidak berbeda dengan para mafia pedagang narkotik. Karena diperlakukan sebagai kriminil, maka “penjara” menjadi tempat penampungan bagi para korban itu sendiri. Dana ‘war on drugs’ untuk pelatihan militer yang sia-sia, tidak sebanding dengan bantuan pusat rehabilitasi untuk para korban itu sendiri.

Dari strategi “War on Drugs” yang menjadi strategi Amerika Serikat dapat dilihat kehancuran-kehancuran lebih luas yang diakibatkanya:

Pertama, perang tersebut lebih sarat dengan kepentingan politik dan ideologi Amerika, daripada motif untuk menghancurkan perdagangan narkotik. War on drug lebih tampak sebagai strategi Amerika Serikat untuk mengklaim dirinya sebagai polisi dunia;

Kedua, perang tersebut terbukti, dalam banyak kasus (terutama di Amerika Latin), telah membantu konsolidasi dan hegemoni politik sekutu-sekutu militer sayap kanan AS, untuk mempertahankan kekuasaan atau untuk merebut kekuasaan;

Ketiga, kerjasama pelatihan militer dan operasi militer dengan Amerika Serikat, jelas lebih memperkuat militerisme dan penyalahgunaan bantuan oleh sekutu-sekutu militer AS untuk melakukan berbagai pelangaran HAM kelas berat;

Keempat, ‘war on drugs’ menjadi alat illegal dari “perang kotor” pemerintah AS atas lawan-lawan politiknya, yang diangap tidak segaris dengan kepentingan Amerika Serikat’

Kelima, strategi ‘war on drugs’ telah menciptakan korupsi, pencucian uang dan “bisnis ilegal,” yang melibatkan institusi resmi negara (seperi CIA, DEA, FBI, Dept. pertahanan, sekretaris pertahanan dll);

Keenam, strategi ‘war on drugs’ sama sekali tidak mengurusi dan mempunyai program yang berpihak kepada ‘para korban pemakai narkoba’, tapi menempatkannya sebagai “kriminil” sama dengan para pedgang dan mafia narkotik itu sendiri.***

Wilson, Koordinator Litbang Perkumpulan Praxis.
Tulisan ini adalah paper pengantar dalam PERTEMUAN NASIONAL HARM REDUCTION (PNHR) KE-II MAKASSAR, 15 – 18 Juni 2008

Kepustakaan:

Ex-DEA agent Michael Levine, "The Big White Lie: The CIA and the Cocaine/Crack Epidemic," http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html

Steven Wisotsky, "A Society Of Suspects: The War on Drugs and Civil Liberties," http://www.cato.org/pubs/pas/pa-180.html)

"The CIA and Drugs: An Introduction," http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html

Francis W. Belanger, "Drugs, the U.S., and Khun Sa," 1989, Editions Duang Kamol,Siam Square, Bangkok, Thailand

Peter Dale Scott, "Drugs, Oil, And War: The United States in Afghanistan, Colombia and Indochina," March 2003. Rowman & Littlefield.

------------, "OVERVIEW: THE CIA, THE DRUG TRAFFIC, AND OSWALD IN MEXICO," December 2000, http://www.history-matters.com/pds/DP3_Overview.htm

Pater Dale Scoot and Jonathan Marshall, "Cocaine Politics," Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991 .

Martin Jelsma .”Democracy, Human Rights, and Militarism In the War on Drugs in Latin America,” http://www.tni.org/detail_page.phtml?page=reports_drugs_folder1_jelsma

Robert Brophy and Peter Zirnite. “U.S. Military Training for Latin America," Volume 2, Number 48October 1997. http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n48mil.html)

As Francis J. McNeil, former Deputy Assistant Secretary of State for Intelligence and Research noted, in 1986, eight top officials, led by North, persuaded a federal judge to grant a lenient sentence to Honduran Gen. Jose Bueso-Rosa. http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html

Deirdre Griswold. ”CIA Is Up To Its Eyeballs In Cocaine Deals Which banks laundered the money?"

Audrey Farrell . “Addicted To Profit—Capitalism and Drugs,” Internasional Socialism Issue 77 quarterly journal of the Socialist Workers Party (Britain) Published December 1997 .

Rabu, 14 Mei 2008

Hak Anda sebagai Tahanan

1. APAKAH PENAHANAN ITU ?
Penahanan adalah upaya paksa menempatkan Tersangka/Terdakwa disuatu tempat yang telah ditentukan, karena alasan dan dengan cara tertentu (Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1).

2. DIMANAKAH PARA TAHANAN DI TEMPATKAN?
Selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan, Tersangka/Terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara atau Rutan (PP No. 27 tahun 1993 pasal 1). Tetapi ada juga tahanan yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, karena berdasarkan SK MENKEH RI No. M. 03.UM.01.06 tahun 1983, beberapa Lembaga Pemasyarakatan tertentu dapat ditetapkan sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN).

3. PIHAK-PIHAK YANG BERHAK MENAHAN
a. Penyidik, yaitu polisi atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk melakukan serangkaian tindakan pengumpulan bukti
b. Penuntut Umum, yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c. Hakim, baik hakim Pengadilan Negeri maupun hakim Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yaitu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

4.ALASAN PENAHANAN (pasal 21 KUHAP)
Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap Tersangka/Terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan melakukan tindak pidana, atau yang memberi bantuan dalam melakukan tindak pidana tersebut, dalam hal:
o Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
o Atau terhadap orang yang melakukan tindak pidana, misalnya penganiayaan (pasal 351 ayat 1 dan pasal 353 ayat 1), penggelapan, penipuan (pasal 372, 378 dan 379a), mencari nafkah dengan memudahkan orang melakukan percabulan (germo/mucikari) pasal 296, mucikari yang melakukan eksploitasi pelacur (pasal 506) dan berbagai tindak pidana lainnya. Serta pelanggaran peraturan Bea & Cukai (pasal 25 dan pasal 26 Ordonansi Bea & Cukai), juga pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No.8 Drt 1955) sebagaimana diatur dalam pasal 1,2 dan pasal 4. Penggunaan Narkotika pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976.
o
5. BATAS WAKTU PENAHANAN
5.1. Penahanan oleh Polisi dan pejabat lain (pasal 24 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 20 (dua puluh) hari. Bila masih diperlukan --dengan seijin Penuntut Umum--, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Jika sebelum 60 hari pemeriksaan telah selesai, Tahanan dapat dikeluarkan dan jika sampai 60 hari perkara belum juga putus maka demi hukum, Penyidik (Polisi) harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
5.2. Penahanan atas perintah Penuntut Umum (pasal 25 KUHP)
Batas waktunya paling lama 20 (dua puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Negeri, waktu dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu 50 hari, Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan. Lepas 50 hari, meski perkara belum diputus, tapi demi hukum PenuntutUumum harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
5.3. Penahanan atas surat perintah penahanan Hakim Pengadilan Negeri (pasal 26 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bila belum selesai, penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari dengan seijin Ketua Pengadilan Negeri. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu maksimal, Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan. Jika batas waktu maksimal (90 hari) telah habis, meski perkara belum diputus, demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan.
5.4. Penahanan atas surat perintah penahanan hakim Pengadilan Tinggi (pasal 27 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Tinggi, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari. Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum batas waktu maksimal (90 hari), jika pemeriksaan telah selesai. Jika telah 90 (sembilan puluh) hari perkara belum diputus, maka demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan.
5.5. Penahanan atas perintah penahanan Mahkamah Agung (pasal 28 KUHAP)
Untuk kepentingan pemeriksaan kasasi, batas waktu penahanan paling lama 50 (lima puluh) hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang dengan batas waktu paling lama 60 (enam puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan. Jika pemeriksaan telah selesai sebelum jangka waktu 110 hari, Terdakwa/Tersangka dapat dikeluarkan. Meski perkara belum diputus, tetapi jika Terdakwa/Tersangka telah menjalani tahanan selama seratus sepuluh (110) hari, maka demi hukum ia harus dikeluarkan.

6. JENIS PENAHANAN (Pasal 22 KUHAP)
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara
Tersangka/Terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau di Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rumah Tahanan Negara.
b. Penahanan Rumah
Penahanan dilaksanakan di tempat tinggal atau tempat kediaman Tersangka/Terdakwa, dengan tetap dibawah pengawasan pihak yang berwenang untuk menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 KUHAP ayat 2).
c. Penahanan Kota
Penahanan dilaksanakan di kota tempat tinggal tersangka/terdakwa. Tersangka/Terdakwa wajib melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 KUHAP ayat 3)

7. PENGECUALIAN PERPANJANGAN (pasal 29 KUHAP)
Ketentuan perpanjangan waktu penahanan (30 sampai 60 hari) berlaku bagi setiap Tahanan. Kecuali bila ada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, misalnya: karena Tersangka/Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat (dengan surat keterangan dokter), atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Untuk kondisi-kondisi tersebut, setiap Tersangka/Terdakwa berhak mengajukan keberatan terhadap perpanjangan batas waktu penahanan ini melalui Ketua Pengadilan Tinggi (untuk tingkat penyidikan dan penuntutan). Sedang untuk tingkat Pengadilan Negeri dan pemeriksaan banding, pengajuan itu ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung.

8. PENGURANGAN MASA TAHANAN (Pasal 22 ayat 4 dan 5)
Jika hukum pidana telah dijatuhkan, maka masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota, pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan. Sedang untuk penahanan rumah, pengurangannya sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

9. HAK ANDA SEBAGAI TAHANAN
Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim dari petugas. Surat penahanan berisi identitas anda, alasan penahanan serta uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan atau didakwakan kepada anda serta tempat anda ditahan nantinya (pasal 21 ayat 2 KUHAP),
1. Meminta petugas menyerahkan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga anda (pasal 21 ayat 3 KUHAP),
2. Ditempatkan secara terpisah berdasarkan jenis kelamin, umur serta tingkat pemeriksaan (pasal 1 ayat 2 PerMenkeh RI No. M.04.UM.01.06 tahun 1983),
3. Mendapat perawatan yang meliputi makanan, pakaian, tempat tidur, kesehatan rohani dan jasmani (pasal 5 PerMenkeh RI)
4. Tidak diberlakukan wajib kerja bagi tahanan dan bila anda ingin bekerja secara sukarela, anda harus mendapatkan ijin dari instansi yang menahan (pasal 15 PerMenkeh RI )
5. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan kepada penuntut umum dan kemudian proses ke pengadilan (pasal 50 ayat 1 dan 2 KUHAP)
6. Dapat secara bebas memberikan keterangan kepada penyidik (pasal 52 KUHAP)
7. Mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum selama pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Anda bebas memilih sendiri penasihat hukum anda (pasal 54 dan 55 KUHAP)
8. Mendapatkan Bantuan Hukum secara cuma-cuma, bila tidak mampu (pasal 56 ayat 2 KUHAP)
9. Bebas menghubungi penasihat hukum (pasal 57 ayat 1 KUHAP)
10. Mendapatkan kunjungan dari keluarga, penasihat hukum dan orang lain (pasal 18 ayat 1 PerMenkeh RI)
11. Bebas melakukan surat-menyurat dengan penasehat hukum atau sanak keluarga (pasal 18 ayat 4 PerMenkeh RI)
12. Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah (pasal 68 KUHAP)

10. BAGAIMANA DENGAN PEREMPUAN HAMIL DAN MENYUSUI ?
Pada prinsipnya, hak bagi Tahanan perempuan yang sedang hamil dan menyusui tidak berbeda dengan Tahanan lainnya. Perbedaannya hanya pada menu makanan. Menu makanan bagi Tahanan perempuan yang hamil dan menyusui, diatur tersendiri dan berbeda dengan mereka yang dalam kondisi normal (diatur di pasal 7 PerMenkeh RI).

11.PERBEDAAN DITAHAN DAN DIPENJARA
Umumnya orang menganggap, bahwa ditahan sama dengan dipenjara. Padahal tidak demikian. Seseorang ditahan jika diduga keras melakukan kejahatan, karenanya untuk sementara dia dimasukkan ke dalam tahanan untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan dari perkara yang disangkakan kepadanya. Berarti dia belum tentu bersalah dan bisa saja dibebaskan bila dalam penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tersebut tidak ditemukan bukti bahwa dia bersalah.
Sedangkan seseorang dipenjara karena dia telah terbukti melakukan kejahatan dan telah menerima keputusan hakim (vonis) yang bersifat tetap.

12. INGAT HAK ANDA
Jika anda berstatus sebagai Tahanan dan hak anda sebagai Tahanan telah dilanggar oleh pihak lain seperti polisi, penyidik atau aparat penegak hukum lainnya, anda dapat melaporkan pelanggaran tersebut kepada Departemen Kehakiman atau ke Komnas HAM.

Jumat, 09 Mei 2008

SUBTANSI HAM

PENGERTIAN-PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM meliputi :

1. kejahatan genosida;

2. kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

1. Membunuh anggota kelompok;

2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

1. pembunuhan;

2. pemusnahan;

3. perbudakan;

4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

6. penyiksaan;

7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

9. penghilangan orang secara paksa; atau

10. kejahatan apartheid.

(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Strategi Advokasi

Strategi Advokasi (Upaya Penegakkan Hukum dan Keadilan)

Adokasi adalah suatu cara terencana dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.

Dulu kegiatan advokasi hanya dilakukan oleh para aktivis atau elit politik, model advokasi yang lebih maju justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama. Sedangkan aktivis ataupun lembaga advokasi hanya sebagai pengantar atau pendukung terhadap advokasi yang dilakukan masyarakat.

Mengapa perlu dilakukan advokasi?

Seringkali suatu kebijakan keluar tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan atau rasa keadilan masyarakat. Atau pelaksanaan kebijakan tidak berjalan sebagaimana mestinya., sedangkan pembuat dan atau pelaksana kebijakan tidak perlu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Sehingga masyarakat sebagai subjek pembangunan harus mau dan mampu mendesakkan perubahan tersebut agar tidak terus menerus dirugikan.

Tahapan-tahapan strateginya biasanya adalah:

  1. Bentuk lingkar Inti

Untuk membuat suatu gerakan yang terorganisir diperlukan beberapa orang sebagai coordinator dan motivator. Orang-orang inilah yang bertugas menyusun strategi, mengorganisir dan mendorong masyarakat lain untuk ikut. Lingkar inti daoat terdiri dari beberapa wakil masyarakat (tokoh masyarakat, pemuda atau paralegal). Sebaiknya lingkar inti dibentuk dari awal gerakan advokasi hingga proses pemantauan.

  1. Kumpulkan data/informasi

Sebelum mengadvokasi sebuah kasus, sebaiknya sebanyak mungkin dikumpulkan informasi dan data mengenai apa saja yang berhubungan dengan kasus. Jangan lupa catat setiap perkembangan kasus.

  1. analisis data

dari data yang terkumpul. Dilakukan analisa apa saja kekukrangan dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, untuk menyusun perencanaan ke depan yang lebih terorgainisir

  1. Bangun basis-pelibatan masyarakat

Memotivasi masyarakat agar terlibat dalam setiap proses atau tahapan advokasi.

  1. Bangun Jejaring

Agar gerakan berjalan kuat dan efektif perlu sebanyak-banyaknya mencari sekutu untuk diajak bekrja sama atau membantu melancarkan, atau memberi jalan dalam melancarkan advokasi, sekaligus dalam hal ini dilakukan pembagian tugas. Biasanya pada tahap ini jaringan dibentuk dengan berbagai latar belakan/profesi, dapat terdiri dari LSM/ organsisai non politik dan media massa atau perorangan yang punya pengaruh

  1. Lancarkan tekanan

Advokasi dapat dilakkan dengan cara memlakukan tekanan ke berbagai pihak dengan berbagai cara, mulai dari yang bersifat lunak, missal: dengan mempengaruhi pendapat umum melalui tulisan di media massa,, denga mengirim surat ke berbagai instansi terkait, DPRD dan badan lainnya. Atu demonstrasi dan aksi lainnya, asal tidak melakukan tindakan anarkis

  1. Pengaruhi Pembuat dan Pelaksana Kebijakan

Dekati dan ajak diskusi orang, instansi atau wakil dari pemerintah dan DPR dan secara proaktif memberi tahu para pembuat kebijakan arti penting penanganan kasu tersbut bagi masyarakat setempat dan pembangunan secara umum.

  1. Lakukan Pembelaan

Pembelaan sebenrnya salah satu contoh dalam tahapan melancarkan tekanan, yang dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan class action, atau untuk kasus pidana dengan jalan secara rutin dan terpadu memantau perkembangan penyelsaian kasus, dari tahap kepolisian sampai pengadilan.

Sumber: Buku Panduan Paralegal:proses hukum pidana, perdata dan pengorganisasian rakyat untuk advokasi
Peneibit The World Bank

SEMPITNYA PELUANG DEKRIMINALISASI PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI INDONESIA

Jika kita membicarakan mengenai dekriminalisasi suatu perbuatan, tentu perbuatan yang akan di-dekriminalisasikan tersebut telah di kriminalisasikan terlebih dahulu, atau dinyatakan sebagai suatu kejahatan dalam perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, kita juga harus melihat bagaimana perbuatan itu dinyatakan jahat dalam perumusan yang baku dalam narasi peraturan.

Untuk hal ini, Leonard Savitz dalam bukunya “ dilemmas in Criminology” menyatakan, bahwa peraturan dinyatakan jahat secara hukum apabila memenuhi 5 syarat:

1. An act must take place that in valves harm inflicted on someone by the actor.

2. The act must be legally prohibited at the time it is committed.

3. The perpetrator must have criminal intent (mans real) when he engages in the act.

4. There must be a causal relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it.

5. There must be some legally prescribed punishment for anyone convicted of the act.

Rumusan teoritis Savitz tersebut tampaknya dapat dipergunakan sebagai acuan untuk melihat kemungkinan dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, terutama pada angka 1 (satu).
Yakni bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dekriminalisasi dan Kriminalisasi Merupakan Pergulatan dalam Hukum.

Mendekriminalisasi suatu perbuatan pidana tidak hanya melihat satu aspek saja, misal hanya korban diri sendiri tersebut. Sama ketika perbuatan itu dikriminalisasi, pada saat hendak dikriminalisasi juga terdapat alasan alasan yang logis dari segi moral, sosiologis, ekonomi, politik dan aspek lainnya.

Dalam dekriminalisasi juga akan terdapat tarik menarik pandangan mengenai aspek-aspek tersebut. Sebelum pada akhirnya masuk dalam formulasi hukum. Dengan kata lain, terjadi perubahan perundang-undangan.

Memang, dekriminalisasi identik dengan mengubah peraturan pidana. Sebab, muara kriminalisasi adalah hukum. Dalam hal ini Hartjen (1979), mengatakan ; “the criminalization process begins, therefore, with formulation of criminal laws”.

Dalam kaitan ini kita dapat bercermin dengan apa yang telah dialami amerika serikat(AS).
Padatahun 1920-an mulai muncul di kalangan masyrakat AS pengguna narkoba (pada masa itu yang di kenal jenis marijuana). Masyarakat dan juga pemerintah, belum dapat melihat bencana yang timbul dari peredaran barang dan zat-zat yang merusak itu. Malah pemerintah tertarik dengan besaran aspek ekonomi perdangangan marijuana. Karena itu, pada tahun 1937 muncul uu yang disebut marijuana tax act. Undang undang ini sama sekali tidak dimaksud untuk membendung baha narkotika aspek yang di timbang adalah penerimaan Negara dari pajak marijuana.

Lambat laun masyarakat mulai menyadari bahaya peredaran marijuana. Sejalan dengan hal ini BNN AS(federal bureau narcotics) berhasil menyakinkan kongres tentang bahaya peredaranobat bius. Pada saat yang sama, biro narkotika tersebut jiga gencar berkampanye kepada masyarakat tentang daya rusak narkotika. Berkat upaya keras tersebut, akhinya di AS untuk pertama kalinya keluar uu yang melarang pemakaian, peredaran dan memproduksikan secara melawan hukum narkotika dan obat-obat terlarang. Akibat berlakunya UU ini, “ a new class of criminalis was instantly created (hartjen, dalam bukunya crime and criminalization)”. Para pengguna tidak hanya sebagai korban, tapi juga di pandang sebagai pelaku kejahatan.

Kondisi dilematis

Situasi paradoks tersebut juga di alami Indonesia pada saat ini. Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no.2/1997 tentang Narkotika kondisi dilematis itu termaksud dalam ketentuan ketentuan sebagai berikut:

1. pengguna sebagai korban.

a. pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan:

“pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan da atau perawatan”.

b. pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 pada pokonya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawaan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara syah.disampaing itu dalam pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.

Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak di pidana, karena ia adalah korban dan perlu di tolong.

2. pengguna narkoba sebagai pelaku kejahatan.

Perlu digaris bawahi, bahwa tidak mungkinn seseorang penyalahguna narkoba, dalam tindakan menyalah gunakan tersebut ia memiliki narkoba. Padahal semula tindakan tersebut dilarang oleh UU dan pelakunya dapat diganjar hukuman yang keras.

a. pasal 59 UU no. 5/1997 pada pokoknya menyatakan bahwa memiliki, menyimpan dan atau membawa zat psikotropika secara melawan hukum di pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.

b. Pasal 60 UU no. 5/1997 pada prinsipnya menegaskan, bahwa menyalurkan, menerima penyaluran, dan psikotropika secara dilarang dengan ancaman pidana cukup keras, bahkan pada pasal 65 dicantumkan tentang delik omisi (pembiaran), yakni barang siapa tidak melapor kepada berwajib ketika menjumpai penyalahgunaan atau kepemilikan psikotropika secara tidak sah dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 20jt.

c. Larangan menanam, menyimpan, memiliki, mendengarkan dan menggunakan narkotika secara tidak sah terdapat dalam pasal 78 dan 79 UU 22/1997dengan ancaman pidana cukup berat.

Akibat adanya paradoks dalam perundang-undangan tersebut, jumlah pelaku tindak pidana narkoba melonjak cukup signifikan. Konsekuensinya LP lembaga pemasyarakatan penuh sesak. Realitas ini menggugah pemikiran, mungkinkah dilakukan dekriminalisasi, atau setidak tidaknya penyalah guna narkoba sebagai korban, tidak lagi ditambahi dan stigma pelaku tindak pidana.

Apabila alasan dekriminalisasi adalah penuhnya lapas, tampaknya pertimbangan ini kurang mempunyai hubungan logis dengan persoalan yang dihadapi bangsa untuk mengatasi belitan narkoba.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa penunya lapas, karena pemerintah belum cukup mampu menyesiakan prasarana serupa. Jika permasalahannya pada keterlambatan anggaran, maka sama sekali tidak tepat bila jawabannya adalah dekriminalisasi tindak pidana narkoba.

Narkoba telah merupakan bencana nasional. Sebagai contoh, untuk tingkat kabupaten seperti kediri, baru baru ini (maret 2007) mencanangkan kejadian luar biasa 9KLB) narkoba. Diwilayah itu, hanya untuk bulan maret 2007, terdapat 47 orang over dosis, dan 16 orang diantaranya tewas (tempa interaktif).

Pada tingkat nasional, diperkirakan 15.000 orang meninggal akibat narkoba. Jumlah tersebut sama dengan 40 orang perhari. Penelitian BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2004 memperkirakan, beasaran biaya ekonomi, khususnya untuk pecandunya yang berjumlah 3,6jt di tahun itu, sekitar Rp.23,6 triliun. Angka estimasi yang disodorkan Hendry Yosodiningrat lebih tinggi lagi. Ia memperkirakan pecandu narkoba 4 juta orang. Dengan asumsi pengguna ratarata menghabisakan Rp.200rb sehari, uang yang tersedot sia-sia untuk benda haram tersebut 292 triliun (gatra desember 2006).

Melihat batasan-batasan tersebut. Jelas bahwa masyarakat dalam kondisi terancam, dan karenanya perlu dilindungi . melindungi penyalahguna narkoba sebagai korban adalah penting, tapi yang lebih penting lagi adalah mencegah masyarakat jangan sampai jatuh dalam belitan narkoba.

Secara umum pencegahan kejahatan (crime prevention) meliputi strategi dan teknik pencegahan. Di tegaskan bahwa: “once we accept the idea of crime preventions, can begin to develop appropriate strategies and technique” (national crime prevention institute, 2001).

Sehubungan dengan crime prevention tersebut, maka proses penetapan kriminalisasi dalam UU no5/1997 dan UU no22/1997 sebaiknya dipandang sebagai strategi dan sekaligus teknik pencegahan kejahatan dalam tindak pidana narkoba, sebab para korban narkoba mengalami apa yang disebut “kurva terbalik”. Ketika orang menjadi pecandu narkoba, terus mengalami penurunan dalam segala hal, terutama fisik dan financial, yaitu untuk membeli narkoba. Sampai pada tingkat tertentu, kondisi tidak lagi tertangung, keuangan secarah sah tidak mencukupi untuk membeli narkoba. Korban akhirnya mengalami deprivasi yakni ketidak seimbangan antara kebuthan yang mendesak dengan keterseiaan keuangan.

Dalam kondisi deprivasi tersebut, korban sangat rentan terhadap kemungkinan segera turut menjadi pengedar. Karena dengan menjadi pengedar kebutuhan akan konsumsi narkoba lebih cepat terpenuhi. Dengan demikian, para pengguna narkoba merupakan kelompok yang paling potensial untuk mengedarkan benda haram tersebut. Untuk itu”menyentuhpun jangan “ terhadap benda terlarang sebagaimana sekarang ditetapkan dalam perUUan, boleh jadi merupakan langkah yang tepat ditinjau dari segi pencegahan kejahatan.

Tingginya peredaran narkoba di dalam lapas, merupakan bukti bahwa penyalahgunaan narkoba paling potensial untuk memperluas jarinagn drug trafficking. Dalam kondisi semacam ini jelas dekriminalisasi merupakan langkah yang semakin sempit untuk ditempuh.

Oleh : Prof. DR. Tb Ronny Rahman Nitibaskara

Minggu, 04 Mei 2008

NARKOBA DI INDONESIA

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance). Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan. Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Rabu, 07 November 2007

Mengapa dunia membutuhkan jaringan internasional aktivis pengguna napza

Mengapa dunia membutuhkan jaringan internasional aktivis pengguna napza

Kami orang-orang yang menggunakan napza dari berbagai belahan dunia. Kami adalah orang-orang yang pernah tersingkirkan dari masyarakat dan didiskriminasi; kami pernah dibunuh, ditempatkan pada posisi yang berbahaya tanpa sebab, dimasukkan ke dalam penjara, digambarkan sebagai setan, dan dianggap membahayakan serta tidak berguna. Sekarang adalah waktunya untuk mengungkapkan suara kami sebagai warga negara, mendeklarasikan hak-hak kami, dan menagih apa yang menjadi hak kami sebagai orang yang berbicara atas nama diri sendiri dan sebagai pemberdayaan diri sendiri:
Memberdayakan dan memperkuat pengguna napza legal atau yang dianggap ilegal di seluruh dunia, meningkatkan dan menyuarakan diri kami sebagai umat manusia untuk memberikan masukan yang berarti kepada seluruh keputusan yang mempengaruhi kehidupan kami sendiri.
Mempromosikan pemahaman yang lebih baik dari pengalaman pengguna napza ilegal, dan dampak yang merusak dari kebijakan napza yang ada selama ini yang mempengaruhi para pengguna napza, sebagai mana dengan sesama warga negara yang tidak menggunakan: ini menjadi bagian yang penting dalam pengembangan kebijakan-kebijakan sosial di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
Menggunakan keahlian dan pengetahuan kami sendiri dalam melatih dan mendidik orang lain, terutama teman-teman sebaya dan sesama warga negara lainnya yang peduli terhadap napza di masyarakat.
Mengadvokasi akses bagi siapapun terhadap perlengkapan yang tersedia untuk mengurangi dampak buruk yang dihadapi pengguna napza sehari-hari, termasuk, i) perawatan napza, perlakuan medis yang layak untuk penggunaan zat, akses yang diatur khusus tehadap napza farmasi berkualitas yang kami butuhkan, ii) ketersediaan peralatan penggunaan napza yang lebih aman, termasuk suntikan dan pipa sebagaimana dengan, iii) fasilitas pemusnahannya, iv) penjangkau sebaya dan informasi terbaru dan jujur tentang napza dan segala macam penggunaannya, termasuk, v) fasilitas/tempat penggunaan napza yang aman yang dibutuhkan oleh banyak dari kami.
Mengungkapkan hak-hak kami berdasarkan informasi obyektif dan dapat dibuktikan tentang napza, dan bagaimana melindungi diri kami sendiri dari potensi dampak buruk penggunaan napza melalui akses bagi siapapun terhadap layanan kesehatan yang menyeluruh dan adil, tempat tinggal yang mendukung, aman, terjangkau serta kesempatan kerja.
Menyediakan dukungan untuk membangun jaringan-jaringan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, Hepatitis dan kelompok pengurangan dampak buruk lainnya di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional, memastikan pengguna napza aktif dilibatkan pada tiap tingkat pembuatan keputusan, dan secara spesifik bahwa kita mampu untuk duduk sebagai dewan pengurus (pimpinan) dari berbagai organisasi dan dihargai secara adil atas pengeluaran, waktu, dan keahlian kami.
Menghadapi tantangan dewan legislatif nasional dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang selama ini membuat kami tidak dapat hidup dengan aman, nyaman, dan sehat.
Menyadari dengan baik adanya tantangan potensial dalam membangun sebuah jaringan, kami bekerja keras untuk:
Menghormati dan menghargai perbedaan dan menyadari latar belakang, keahlian, dan kemampuan kami yang berbeda-beda, serta membangun sebuah lingkungan yang aman dan mendukung di dalam jaringan tersebut tanpa membedakan napza apa yang kami gunakan atau bagaimana cara kami menggunakannya.
Menyebarkan informasi tentang upaya kami untuk mendukung dan mendorong perkembangan organisasi pengguna napza di masyarakat/negara-negara dimana belum ada organisasi sejenis.
Mempromosikan toleransi, kerja sama dan kolaborasi, meningkatkan budaya partisipasi aktif dan keterlibatan.
Berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi dan menciptakan sebuah struktur yang mempromosikan partisipasi penuh dalam pengambilan keputusan.
Keterlibatan maksimum dengan fokus khusus pada mereka yang sangat rentan terhadap penindasan berdasarkan identitas jender, orientasi seksual, status sosial ekonomi, agama, dll.
Memastikan bahwa pengguna napza tidak dipenjarakan dan bahwa mereka yang dipenjara memiliki hak yang setara terhadap kesehatan dan perawatan serta kondisinya dihargai, termasuk perawatan napza serta akses perlengkapan promosi kesehatan seperti suntikan dan kondom serta perawatan medis atau paling tidak setara dengan apa yang akan mereka dapatkan jika berada di luar.
Menghadapi tantangan eksekusi dan perlakuan lain yang tidak manusiawi terhadap pengguna napza di seluruh dunia.
Akhirnya, kebutuhan mendalam untuk membangun jaringan tersebut terlahir dari fakta bahwa tidak ada kelompok orang tertindas yang pernah menggapai kebebasan tanpa keterlibatan mereka yang secara langsung terimbas oleh penindasan tersebut. Melalui aksi kolektif, kami akan berjuang untuk mengubah kebijakan napza di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional serta memformulasikan sebuah kebijakan napza yang berlandaskan bukti-bukti yang menghargai hak asasi dan martabat setiap manusia bukan yang dipenuhi oleh moralisme, anggapan, dan kebohongan-kebohongan.

Jaringan Internasional Aktivis Pengguna Napza
30 April 2006, Vancouver Canada